Wednesday, September 30, 2015

Kisah Nyata Pembantaian Sadis RMS 1950 di "KATAPANG" Maluku

Setelah proklamasi kemerdekaan RMS pada 25 April tahun 1950 di Maluku, tanggal 2 Mei 1950 Muhammad Noer (Kepala Kampung Katapang) Menerima berita dari Jakarta Bahwa Akan dikirim pasukan marinir untuk memberantas gerakan separatis RMS di bumi Maluku. Mereka dikirim dengan menggunakan kapala perang milik TNI angkatan laut. Mendengar berita tersebut Muhammad Noer meminta masyarakat Katapang untuk bersiap-siap menyambut pasukan TNI dari Jakarta. Masyarakat katapang kemudian bersiap-siap melakukan penyambutan. Apa yang mereka bisa lakukan telah mereka siapkan diantaranya mencari ikan, ambil kelapa muda, dan penjamuan
sekadarnya. Tidak hanya itu penjagaan malampun mereka lakukan karena kwatir adanya penyusup yang masuk menyerang. Sejak tanggal 9 Mei 1950 masyarakat katapang telah bersiap-siaga namun belum muncul juga kapal yang meraka nantikan. Sehingga kelapa yang mereka seiapkan sudah beberapa kali dimakan dan diganti, ikan dan makanan lain mereka makan dan menggantinya. Sampai tanggal 13 Mei 1950 baru kapal tersebut muncul dan berlabuh di Katapang. KRI Rajawali dibawah pimpinan Laksamana Jhon Lie (keturunan Cina) dan KRI Hang Tuah dibawah pimpinan Mayor Simanjuntak yang sandar di katapang.
Kapal ini dapat sandar dan berlabuh di laut katapang setalah mendapat kode dari Kepala Kampung Katapang Muhammad Noer. Kode atau tanda yang disampaikan oleh Muhammad Noer adalah dengan mengibarkan dua buah bendera merah putih kecil dengan pangjang sekitar 10cm. Ketika kapal tersebut terlihat jelas dengan teropong yang dimilikinya, kemudian Muhammad Noer mengeluarkan dua buah bendera kecil dari dalam bambu lalu mengibarkan dua bendera kecil itu didepan dadanya. Hal ini dilakukan agar teropong kapten kapal dapat melihat kode tersebut. Kode ini telah diatur sebelumnya sebelum kapal ini mendarat di katapang sehingga masing-masing telah mengetahui perihal kode yang nantinya diberikan. Masyarakat katapang sangat senang dan gembira menyambut datangnya dua buah kapal ini. Kegembiraan ini meraka apresiasikan dengan naik dan bermain di kapal tukar menukar makanan dengan TNI. Kedatangan kapal ini kemudian dilaporkan oleh mata-mata separatis RMS di lokki kepada Pasukan RMS di Piru. Karena kelelahan saat penjamuan dengan para TNI yang datang, pada malam itu masyarakat Ketapang tertidur dan tidak melakukan penjagaan di perbatasan kampung. Pada pukul 4.00 WIT pagi sebelum sholat subuh puluhan pasukan RMS telah tiba di Katapang. Seorang pemuda yang mengetahui kedatangan pasukan RMS lalu berlari untuk membangunkan masyarakat. Namun usaha yang dilakukannya sudah sangat terlambat ketika di berteriak “hoe Ora-ora kampo bangu ada tuki-taka di balaka kampo mau bila anji buka anji mau bila babi buka babi” (hai orang-orang kampung bangunlah ada suara tak-tik di belakang kampung mau bilang anjing sepertinya bukan anjing mau bilang babi sepertinya juga bukan babi) saat itu puluhan pasukan RMS telah mengepung sampai ke dalam kampung dengan peralatan senjata yang lengkap. Pemuda itu kemudian ditangkap dan disayat mulutnya hingga ke telinga.
Pagi itu seekor ayampun tidak berani berkokok, hanya terdengar suara tembakan yang mengaung menggantikan suara azan subuh. Semua rumah digeledah untuk mencari bukti-bukti perjuangan masyarakat Katapang, bendera merah putih pemberian Presiden Soekarno dicari untuk dimusnahkan. Semakin brutal pembantaian mereka karena tidak satupun bukti yang bisa mereka peroleh. Semua orang diminta keluar yang berlari ditembak ditempat, yang menangis ditembak ditempat. Setiap yang keluar harus diam dan berjalan ketempat pertemuan sesuai arahan mereka. Tidak dibolehkan membuat gerakan yang mencurigakan, banyak nyawa melayang di pagi itu, rumah-rumah dibakar tidak satu orangpun yang boleh menangis. Bapak, ibu, nenek atau kekekmu yang tertembak tidak perlu ditangisi semua masyarakat pemuda dan pemudi diperintahkan untuk berpesta, berpesta di antar korban-korban yang berserakan. “Ambil tipa” kata mereka “pukul tipa” kata mereka “ayo semua menari kalau tidak mau mati” kata merka pula. Semua masyarakat hanya bisa pasrah atas tindakan para separatis RMS di pagi itu.
Semua masyarakat yang hidup dikumpulkan disebuah tanah lapang kecil di dekat pantai, kemudian mereka menyuruh para mata-mata untuk mengenali tokoh-tokoh pejuang katapang. Setiap mereka yang ditunjuk oleh mata-mata kemudian dipisahkan ke lokasi samping sabuah (balai desa)  batang kelapa untuk dieksekusi, hanya sepenggal kalimat yang diutarakan sebelum mereka menembak (pesta di kapal Rajawalie, isap roko eskore, makan biskuite) hanya kelimat itu yang diucapkan sebelum mereka tembak setiap orang. Korban semakin banyak yang berjatuhan, pemuka dan tokoh-tokoh pejuang sudah banyak yang dibantai. Yang terbantai dibiarkan saja tidak boleh ada yang mengurusi biarkan semua bergelimpangan. Sungguh sebuah pembantaian yang sadis dan tidak berperikemanusiaan. Puluhan nyawa telah melayang hingga seorang komandan RMS asal maluku tenggara hendak menembak salah seorang masyarakat katapang (Renhoat) yang juga asal Maluku Tenggara lalu beliau berteriak menggunakan bahasa daerah mereka dengan kencangnya “neno mata kita” (mama beta mati juae). Serentak komandan itu kaget dan berkata kepadanya kanapa kamu dari tadi tidak bilang dari tadi saya tanya kamu tidak jawab. Kemudian komandan bertanya dimana lai ada orang katong (dimana lagi ada suku kita). Kata Renhoat di atas ada satu orang lai (disebelah barat ada seorang lagi) namanya Farnatubun. Kemudian komandan berlari mengecek orang yang disampaikan oleh Renhoat sesampainya ditempat Farnatubun, Ternyata Farnatubun telah meninggal tertembak. Kemudian sang komandan RMS itu menyesal dan berteriak “Beta sukala, Beta pung orang su mati” (saya sudah kala, orang saya sudah meninggal). Kemudian komandan itu memerintahkan kepada seluruh prajurit RMS pada saat itu untuk berhenti membunuh orang, bila ada lagi yang menembak berarti kita dengan kita akan berperang.  Dari situlah suara senjata mulai tidak terdengar lagi korbanpun tidak berjatuhan, mereka kemudian meninggalkan katapang dengan pesan untuk melapor ke Lokki setiap harinya. Mereka berangkat dengan beberapa orang yang menjadi tawanan salah satunya adalah Muhamad Noer tokoh utama pejuang katapang yang diseret sampai ke piru dan dibunuh di sekitar Hunimua Negeri Liang (Pulau Ambon) kemudian jenasahnya dipindahkan ke Tempat Pemakaman Pahlawan KAPAHAHA Ambon skitar tahun 1990an.



Setelah berjalan beberapa bulan dan ketika RMS dapat diusir dari pulau ambon, RMS kemudian berpindah ke Pulau Seram Piru. Kemudian para pejuang pejuang katapang bergabung dengan TNI untuk menyerang RMS di piru dan bersama-sama TNI hingga penangkapan ketua RMS dr Soumokil, bersama-sama TNI menelusuri semua wilayah dalam upaya penangkapan dr Soumokil. Pada akhir tahun 1950 Soumokil tertangkap kemudian KRI Rajawali dan KRI Hang Tuah kembali ke Jakarta. Ada beberapa pejuang termasuk pejuang Katapang yang ikut bersama dua KRI tersebut. Namun banyak yang kembali hanya seorang pemuda yang menetap di Jakarta dan menjadi TNI di sana. 

Dialah "MASRUHI" seorang perjuang yang saat pembantaian itu disiksa habis-habisan.. tangan dan kakinya di ikat kemudian seluruh badannya disayat dengan pisau lalu di jemur, hal ini dilakukan oleh RMS karena tidak ada jalan untuk melumpuhkan atau membunuhnya. tidak puas dengan perlakukan itu kemudia di dilepaskan dijatuhkan paksa ke tanah kemudian kepalanya dilempar dengan batu karang yang besar. Pada saat dilempar dengan batu besar dikepalanya, menjadi alasan dia untuk bebas dari siksaan dia kemudian tidak bernapas dalam waktu yang lama (pura-pura mati) sampai keadaan pulih baru dia bangun dari tempatnya berbaring. MASRUHI tidak pernah kembali ke KATAPANG sejak ke Jakarta hingga saat ini. hal ini karena beberapa kali minta untuk pulang selalu ditolak sama keluarganya karena DENDAM kepada Masyarakat LOKKI yang menjadi mata-mata RMS belum hilang. dia mau pulang ke KATAPANG dengan syarat harus membuhuh Masyarakat LOKKI yang menjadi mata-mata. hal ini yang selalu di tolak oleh keluarganya.

 Menyesal rasanya, darah kakek-kakek kami dan orang tua kami yang tertumpah untuk dan demi membela kemerdekaan Ibu Pertiwi “Indonesia Raya”. Darah mereka, semangat mereka, jiwa, mereka, kebahagiaan mereka semuanya dilimpahkan untuk satu cita, satu tujuan “menuju Indonesia Jaya,  Menuju Indoensia Raya. 





Namun apa yang didapat kampong mereka (KATAPANG - MALUKU), tempat tinggal mereka tempat yang menjadi kebanggaan, tempat yang memunculkan semangat-semangat pratiotisme dicampakan dan sangat dicampakan oleh Tanah Air sendiri. Tanah air yang dibangn dengan keringat darah, tetasen airmata, tulang belulang para kesatria. Tapi apa yang di peroleh kini kampong itu hanya sebuah dusun yang sungguh tidak dihargai seakan selalu ditertawakan oleh antek-antek separatis dan antek-antek penjajah dimasa kemerdekaan.

MEREKA SEAKAN TERTAWA, dari jaman penjajahan hingga kemedekaan PEJUANG terus dijajah dan PENNJAJAH dianggap sebagai pejuang. KAMPUNG (DESA) yang nyata-nyata adalah kampong separatis dibiarkan berdiri kokoh DAN difasilitasi, dimanjakan seakan mereka adalah pejuang seakan mereka adalah pahlawan dan perintis kemerdekaan. 

Sementara kampong para pejuang itu dibiarkan terombang ambing dengan status yang Tidak jelas. Kampong yang dibantai oleh gerakan separatis karena mempertahankan kemerdekaan, kampong yang menjadi tampat persinggahan awal dua KRI tanah air untuk pembasmian RMS di bumi Maluku. Itulah KRI RAJAWALI dan KRI HANG TUAH kapal perang nusantara yang disambut kedatangannya dengan suka cita oleh masyarakat katapang, namun kepergiannya membawa MALAPETAKA, puluhan rakyat katapang di bunuh, dibunuh dengan sadis, tanpa ada rasa perikemanusiaan. Pejuang dibantai, mayat mereka dibiarkan berserakan, tidak boleh ada yang menangis semuanya menari, keluaga pejuang yang terbunuh hanya pasrah, hanya menunggu giliran meraka akan dibunuh, hanya air mata doa yang sanggup ditelan. tiada lagi kata yang harus diucap, tiada lagi tatap yang harus ditatap mereka taksanggup membuka mata melihat tumpukan jenazah sang pejuang yang mereka harapkan terbujur kaku. 

KAMI ANAK CUCU MEREKA TIDAK MEMINTA BANYAK. HANYA MEMOHON AGAR PERJUANGAN KAKEK DAN ORANG TUA KAMI DIHARGAI. TOLONG HARGAI PERJUANGAN MEREKA DENGAN MENGEMBANGKAN KAMPUNG (DESA) MEREKA. JANGAN SELALU DIOMBANG-AMBING OLEH STATUS YANG TIDAK JELAS ITU.
 DULU STATUSNYA KAMPUNG YANG SETARA DENGAN DESA, KEMUDIAN MENJADI DESA PADA TAHUN 1978 KEMUDIAN JADI DUSUN LAGI PADA TAHUN 1986. 
TOLONG DI TETAPKAN STATUS YANG LEBIH PASTI.. MUNGKIN KAMI BUKANG NEGERI ADAT TAPI KAMI MEMILIKI ADAT, DAN KAMI MASYARAKAT ADAT. 
JANGAN HANYA KAMPUNG SEPARATIS SAJA YANG DI BANGUN TAPI KAMPUNG PARA PEJUANG JUGA PERLU DIBANGUN. KENAPA MEREKA DI FASILITASI OLEH NEGARA SEMENTARA KAMI DILIKUIDITASI OLEH NEGARA.

SEMOGA MENDAPAT PERHATIAN,...