Tuesday, February 25, 2014

KAMPUNG PEJUANG YANG TERCAMPAKAN OLEH IBU PERTIWI



KAMPUNG PEJUANG YANG TERCAMPAKAN OLEH IBU PERTIWI


Menyesal rasanya, darah kakek-kakek kami dan orang tua kami yang tertumpah untuk dan demi membela kemerdekaan Ibu Pertiwi “Indonesia Raya”. Darah mereka, semangat mereka, jiwa, mereka, kebahagiaan mereka semuanya dilimpahkan untuk satu cita, satu tujuan “menuju Indonesia Jaya,  Menuju Indoensia Raya. Mereka memang tidak bisa bebuat banyak tapi mereka sudah banyak berbuat untuk negeri ini. Darah, keringat tak terhitung lagi entah sudah beberapa tetes yang dituangkan untuk membela negeri ini, namun apa yang didapat kampong mereka, tempat tinggal mereka tempat yang menjadi kebanggaan, tempat yang memunculkan semangat-semangat pratiotisme dicampakan dan sangat dicampakan oleh Tanah Air sendiri. Tanah air yang dibangn dengan keringat darah, tetasen airmata, tulang belulang para kesatria. Tapi apa yang di peroleh kini kampong itu hanya sebuah dusun yang sungguh tidak dihargai seakan selalu ditertawakan oleh antek-antek separatis dimasa kemerdekaan.
Mereka seakan tertawa, dari jaman penjajahan hingga kemedekaan pejuang terus dijajah dan penjajah dianggap sebagai pejuang. Kampung yang nyata-nyata adalah kampong separatis dibiarkan berdiri kokoh difasilitasi, dimanjakan seakan mereka adalah pejuang seakan mereka adalah pahlawan dan perintis kemerdekaan. Sementara kampong para pejuang itu dibiarkan terombang ambing dengan status yang didak jelas. Kampong yang dibantai oleh gerakan separatis karena mempertahankan kemerdekaan, kampong yang menjadi tampat persinggahan awal dua KRI tanah air untuk pembasmian RMS di bumi Maluku. Itulah KRI Rajawali dan KRI Hang Tuah kapal perang nusantara yang disambut kedatangannya dengan suka cita oleh masyarakat katapang, namun kepergiannya membawa malapateka, puluhan rakyat katapang di bunuh, dibunuh dengan sadis, tanpa ada rasa perikemanusiaan. Pejuang dibantai, mayat mereka dibiarkan berserakan, tidak boleh ada yang menangis semuanya menari, keluaga yang pejuang yang terbunuh hanya pasrah, hanya menunggu giliran meraka akan dibunuh, hanya air mata doa yang sanggup ditelan tiada lagi kata yang harus diucap, tiada lagi tatap yang harus ditatap mereka taksanggup membuka mata melihat tumpukan jenazah sang pejuang yang mereka harapkan terbujur kaku.
Hanya kalimat yang tersembunyi muncul dari detakan jangtung yang sembraut, smoga ini cepat berakhir semoga Indonesia cepat jaya, semoga Indonesia Cepat Merdeka agar kami bisa terbebas dari perilaku-prilaku tidak bermoral ini. Puluhan mayat bergelimpangan tak membuat kendor semangat pejuang mereka, mereka terus saja membangun jentik-jentik semangat untuk melawan. Kami adalah pejuang, kami cinta Indonesia, kami cinta tanah air silhkan ambil darah kami, ambil nyawa kami tapi tak akan pernah sanggup engkau mengambil semangat kami untuk menjayakan negeri ini.
Tenaga mereka terkuras habis oleh siksaan prajurit belanda, oleh siksaan prajurit jepang namun selalu pancarkan semangat membara. Semangat untuk tetap bangkit berharap kedepan akan lebih baik. Semangat yang selalu membara mengangkat kepala dan jiwa mereka untuk teriakan kemerdekaan “MERDEKA” semangat mereka yang menggelora membangkitkan keberanian mereka hingga terkibarkan sang Merah Putih di 18 Agustus 1945 saat pasukan Jepang kebingunan pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Namun kenapa kampong mereka yang ditinggal ileh anak cucu mereka tidak dihargai sama sekali.
Kami yang tinggal sekarang ini anak cucu merekah tidak ikhlas dengan pengorban yang telah dilakukan oleh kakek-kakek dan orang tua kami. Setiap darah yang tercurah tidak ikhlas kami berikan untuk Negara ini. Kami anak cucu mereka menuntut, menuntut sebuah pengakuan yang semu, pengakuan untuk kampong kami diperhatikan kampong pejuang itu diperhatikan, kenapa kampong separatis diperhatikan dibiayai oleh Negara sementara kampong pejuang dicampakan.
Tahun 1940 dalam kehidupan masyarakat Katapang belum terjadi pergerakan perjuangan, kehidupan pada masa itu dirasakan normal adanya. Bekerja untuk pemerintah belanda mengambil keuntungan seadanya bukan sebuah penyiksaan menurut mereka. Asalkan tidak disakiti atau ditindas kasar mereka tetep melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Mulai terjadi pergerakan masyarakat katapang melawan penjajah adalah pada tahun 1942 ketika jepang menduduki seluruh Indonsia termasuk Katapang. Puncaknya ketika masyarakat katapang dijadikan tentara atau prajurit pembantu jepang yang dikenal dengan KNIL dan HEIHO. Semua pemuda katapang dipaksa untuk menjadi prajurit jepang. Beberapa orang diantara pemuda katapang sampai dipercayakan memimpin pasukan KNIL dan HEIHO. Hikma positif yang menguntungkan pada Jaman pemerintahan jepang atau era pendudukan Jepang di Katapang adalah makin baiknya hubungan komunikasi karena pemerintah jepang membangun sebuah pemancar penerima siaran radio dan memfaslitasi beberapa pasukan mereka dengan pesawat radio. Sehingga secara diam-diam pemuda katapang yang tergabung dalam pasukan HEIHO mulai mengikuti pergerakan perjuangan para pejuang indonesia yang ada di Bagian Barat dengan membentuk pasukan PETA. Pasukan PETA kemudian masuk dalam barisan jepang sebagai mata-mata. Hati-hatinya pergerakan pasukan PETA membuat jepang tidak mampu membaca pergerakan mereka.
Salah satu pemimpin besar PETA yang terselubung di balik nama besar HEIHO yaitu Muhammad Noer yang merupakan Kepala Kampung Katapang dan merupakan tokoh perintis kemerdekaan di Maluku bersama Wem Lewaru (Waai) dan Ye Hasan (Luhu). Mereka menjadi sebagain tokoh yang menjadi tongkat pergerakan kemerdekaan di Maluku yang sampai sekarang terkubur bersama sejarah perjuangan mereka, hanya Wem Lewaru yang masih diabadikan namanya sampai sekarang. Tahun 1944 Muhamad Noer diberi tugas yang sangat besar oleh Presiden Pertama yaitu menjalankan sebuah misi rahasia. Kemudian beliau memerintahkan 4 orang pemuda yang tergabung dalam anggota PETA untuk menjalankan misi rahasia tersebut. Mereka adalah Abdurahman (katapang), Arsad Katapang (Katapang), Djabir (katapang), Amei (keturunan cina). Mereka di perintahkan untuk menukar senjata di Manila Piliphina. Dengan perahu Kora-Kora dan bermuatan kelapa Kopra mereka berlayar menuju Manila mendekati perbatasan Manila Piliphina Presiden Soekarno bersama Kapal Selam mendekati mereka dan mengajak mereka berfoto dan memberikan Bendera Merah Putih dan pesan-pesan cara mereka ke manila. Setelah Presiden Soekarno meninggalkan mereka selang beberapa jam kemudian muncul sebuah kapal derek. Kapal tersebut kemudian menarik mereka sampai ke Manila Piliphina. Sesampainya di Manila mereka sangat bingung dengan penyambutan yang dilakukan pada mereka, kemudian penukaran kelapa kopra dan senjata dilakukan tanpa banyak negosiasi yang dibangun. Setelah selesai proses penukaran kemudian mereka kembali ke Indonesai (Maluku) dengan muatan senjata ratusan pucuk dan peluru ratusan peti. Sampai di Sulawesi Utara (Manado) mereka diberitahukan kalau misi mereka telah diketahui pihak jepang sehingga senjata yang mereka bawah dari manila untuk para pejuang PETA di Maluku harus mereka tinggalkan di Manado.
Setelah semua barang yang dibawah ditinggalkan di Manado kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Maluku. Mamasuki pulau Ambon mereka digeledah dan ditahan oleh pasukan jepang. Kurang labih 4 bulan mereka di tahan baru kemudian mereka dibebaskan lagi oleh Muhammad Noer sebagai komandan HEIHO dan PETA pada saat itu. Mereka kemudian kembali ke Katapang dengan hanya membawa pemberian dari Presiden Soekarno yang mereka sembunyikan rapat didalam kapal. Itulah bendera pertama yang masuk di Katapang dan diberikan langsung oleh presiden Pertama Indonesia. Perjuangan mereka terus berlanjut setiap ada pergerakan perjuangan para tokoh katapang telah siap siaga. Pada waktu-waktu tertentu Muhammad Noer sering berkomunikasi dengan kapal-kapal selam pejuang yang berlalu lalang di laut Katapang. Komunikasi yang dibangun adalah gerakan-gerakan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
 Adanya komunikasi perjuangan inilah yang membangkitkan semangat nasionalis pejuang Katapang. Namun pada waktu itu perjuangan yang mereka lakukan hanyalah sebatas pemberian informasi tentang kekuatan dan kelemahan tentara jepang. 17 Agustus 1945 setelah proklamasi kemerdekaan tentara jepang menyampaikan kekesalannya kepada masyarakat katapang bahwa “kalian telah merdeka”. Hal ini belum serta merta mereka umumkan kemerdekaannya. Sehari kemudian tepatnya tanggal 18 agustus 1945 memanfaatkan kebingunan tentara jepang pada saat itu, kemudian mereka mengibarkan Bendera Merah Putih yang pertama. Selama beberapa jam dengan pengawalan ketat. Bendera merah putih yang pertama dikibarkan ini kemudian disimpan dengan baik. Tahun 1949 tepatnya tanggal 17 agustus pengibaran kedua dilakukan. Bendera ini kemudian disimpan (ditanam) pada tahun 1950 disaat terjadi pembantaian masyarakat Katapang oleh pasukan separatis RMS (Baret) sampai kini belum diketahui keberadaannya. Mengetahui bendera pemberian beliau pada pejuang Katapang telah hilang kemudian Presiden Soekarno mengirimkan penggantinya (duplikat bendera pusaka) dan masih terpelihara sampai sekarang.
Setelah proklamasi kemerdekaan RMS pada 25 April tahun 1950 di Maluku, tanggal 2 Mei 1950 Muhammad Noer Menerima berita dari Jakarta Bahwa Akan dikirim pasukan marinir untuk memberantas gerakan separatis RMS di bumi Maluku. Mereka dikirim dengan menggunakan kapala perang milik TNI angkatan laut. Mendengar berita tersebut Muhammad Noer meminta masyarakat katapang untuk bersiap-siap menyambut pasukan TNI dari Jakarta. Masyarakat katapang kemudian bersiap-siap melakukan penyambutan. Apa yang mereka bisa lakukan telah mereka siapkan diantaranya mencari ikan, ambil kelapa muda, dan penjamuan sekadarnya. Tidak hanya itu penjagaan malampun mereka lakukan karena kwatir adanya penyusup yang masuk menyerang. Sejak tanggal 9 Mei 1950 masyarakat katapang telah bersiap-siaga namun belum muncul juga kapal yang meraka nantikan. Sehingga kelapa yang mereka seiapkan sudah beberapa kali dimakan dan diganti, ikan dan makanan lain mereka makan dan menggantinya. Sampai tanggal 13 Mei 1950 baru kapal tersebut muncul dan berlabuh di Katapang. KRI Rajawali dibawah pimpinan Laksamana Jhon Lie (keturunan Cina) dan KRI Hang Tuah dibawah pimpinan Mayor Simanjuntak yang sandar di katapang.
Kapal ini dapat sandar dan berlabuh di laut katapang setalah mendapat kode dari Kepala Kampung Katapang Muhammad Noer. Kode atau tanda yang disampaikan oleh Muhammad Noer adalah dengan mengibarkan dua buah bendera merah putih kecil dengan pangjang sekitar 10cm. Ketika kapal tersebut terlihat jelas dengan teropong yang dimilikinya, kemudian Muhammad Noer mengeluarkan dua buah bendera kecil dari dalam bambu lalu mengibarkan dua bendera kecil itu didepan dadanya. Hal ini dilakukan agar teropong kapten kapal dapat melihat kode tersebut. Kode ini telah diatur sebelumnya sebelum kapal ini mendarat di katapang sehingga masing-masing telah mengetahui perihal kode yang nantinya diberikan. Masyarakat katapang sangat senang dan gembira menyambut datangnya dua buah kapal ini. Kegembiraan ini meraka apresiasikan dengan naik dan bermain di kapal tukar menukar makanan dengan TNI. Kedatangan kapal ini kemudian dilaporkan oleh mata-mata separatis RMS di lokki kepada Pasukan RMS di Piru. Karena kelelahan saat penjamuan dengan para TNI yang datang, pada malam itu masyarakat Ketapang tertidur dan tidak melakukan penjagaan di perbatasan kampung. Pada pukul 4.00 WIT pagi sebelum sholat subuh puluhan pasukan RMS telah tiba di Katapang. Seorang pemuda yang mengetahui kedatangan pasukan RMS lalu berlari untuk membangunkan masyarakat. Namun usaha yang dilakukannya sudah sangat terlambat ketika di berteriak “hoe Ora-ora kampo bangu ada tuki-taka di balaka kampo mau bila anji buka anji mau bila babi buka babi” (hai orang-orang kampung bangunlah ada suara tak-tik di belakang kampung mau bilang anjing sepertinya bukan anjing mau bilang babi sepertinya juga bukan babi) saat itu puluhan pasukan RMS telah mengepung sampai ke dalam kampung dengan peralatan senjata yang lengkap. Pemuda itu kemudian ditangkap dan disayat mulutnya hingga ke telinga.
Pagi itu seekor ayampun tidak berani berkokok, hanya terdengar suara tembakan yang mengaung menggantikan suara azan subuh. Semua rumah digeledah untuk mencari bukti-bukti perjuangan masyarakat Katapang, bendera merah putih pemberian Presiden Soekarno dicari untuk dimusnahkan. Semakin brutal pembantaian mereka karena tidak satupun bukti yang bisa mereka peroleh. Semua orang diminta keluar yang berlari ditembak ditempat, yang menangis ditembak ditempat. Setiap yang keluar harus diam dan berjalan ketempat pertemuan sesuai arahan mereka. Tidak dibolehkan membuat gerakan yang mencurigakan, puluhan nyawa melayang di pagi itu, rumah-rumah dibakar tidak satu orangpun yang boleh menangis. Bapak, ibu, nenek atau kekekmu yang tertembak tidak perlu ditangisi semua masyarakat pemuda dan pemudi diperintahkan untuk berpesta, berpesta di antar korban-korban yang berserakan. “Ambil tipa” kata mereka “pukul tipa” kata mereka “ayo semua menari kalau tidak mau mati” kata merka pula. Semua masyarakat hanya bisa pasrah atas tindakan para separatis RMS di pagi itu.
Semua masyarakat yang hidup dikumpulkan disebuah tanah lapang kecil di dekat pantai, kemudian mereka menyuruh para mata-mata untuk mengenali tokoh-tokoh pejuang katapang. Setiap mereka yang ditunjuk oleh mata-mata kemudian dipisahkan ke lokasi samping sabuah (balai desa)  batang kelapa untuk dieksekusi, hanya sepenggal kalimat yang diutarakan sebelum mereka menembak (pesta di kapal Rajawalie, isap roko eskore, makan biskuite) hanya kelimat itu yang diucapkan sebelum mereka tembak setiap orang. Korban semakin banyak yang berjatuhan, pemuka dan tokoh-tokoh pejuang sudah banyak yang dibantai. Yang terbantai dibiarkan saja tidak boleh ada yang mengurusi biarkan semua bergelimpangan. Sungguh sebuah pembantaian yang sadis dan tidak berperikemanusiaan. Puluhan nyawa telah melayang hingga seorang komandan RMS asal maluku tenggara hendak menembak salah seorang masyarakat katapang (Renhoat) yang juga asal Maluku Tenggara lalu beliau berteriak menggunakan bahasa daerah mereka dengan kencangnya “neno mata kita” (mama beta mati juae). Serentak komandan itu kaget dan berkata kepadanya kanapa kamu dari tadi tidak bilang dari tadi saya tanya kamu tidak jawab. Kemudian komandan bertanya dimana lai ada orang katong (dimana lagi ada suku kita). Kata Renhoat di atas ada satu orang lai (disebelah barat ada seorang lagi) namanya Farnatubun. Kemudian komandan berlari mengecek orang yang disampaikan oleh Renhoat sesampainya ditempat Farnatubun, Ternyata Farnatubun telah meninggal tertembak. Kemudian sang komandan RMS itu menyesal dan berteriak “Beta sukala, Beta pung orang su mati” (saya sudah kala, orang saya sudah meninggal). Kemudian komandan itu memerintahkan kepada seluruh prajurit RMS pada saat itu untuk berhenti membunuh orang, bila ada lagi yang menembak berarti kita dengan kita akan berperang.  Dari situlah suara senjata mulai tidak terdengar lagi korbanpun tidak berjatuhan, mereka kemudian meninggalkan katapang dengan pesan untuk melapor ke Lokki setiap harinya. Mereka berangkat dengan beberapa orang yang menjadi tawanan salah satunya adalah Muhamad Noer tokoh utama pejuang katapang yang diseret sampai ke piru dan dibunuh di sekitar Hunimua Negeri Liang (Pulau Ambon) kemudian jenasahnya dipindahkan ke Tempat Pemakaman Pahlawan KAPAHAHA Ambon skitar tahun 1990an.
Setelah berjalan beberapa bulan dan ketika RMS dapat diusir dari pulau ambon, RMS kemudian berpindah ke Pulau Seram Piru. Kemudian para pejuang pejuang katapang bergabung dengan TNI untuk menyerang RMS di piru dan bersama-sama TNI hingga penangkapan ketua RMS dr Soumokil, bersama-sama TNI menelusuri semua wilayah dalam upaya penangkapan dr Soumokil. Pada akhir tahun 1950 Soumokil tertangkap kemudian KRI Rajawali dan KRI Hang Tuah kembali ke Jakarta. Ada beberapa pejuang termasuk pejuang Katapang yang ikut bersama dua KRI tersebut.

No comments:

Post a Comment

Sampaikan Komentar Anda